Hari ini begitu cerah. Matahari bersinar dengan
menawannya. Burung-burung pun berkicau secara beriringan membuat tangga nada
yang merdu seperti sudah terlatih dalam kontes orchestra internasional. Jalur
lalu lintaspun terlihat bersahabat. Tidak ada kemacetan, mobil-mobil berlalu
lalang dengan lancarnya. Begitu pula perasaanku sekarang. Yap, aku sangat
senang. Hari ini aku akan pergi untuk pertama kalinya sebagai seorang psikolog
dalam sebuah rumah sakit internasional. Ini adalah pekerjaan pertamaku dan ini
adalah cita-citaku sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Ini
merupakan sebuah prestasi yang sangat berharga bagiku yang masih berusia
delapan belas tahun untuk bias menjadi psikolog setelah diwisuda tiga bulan
yang lalu. Aku tersenyum bahagia.
Tidak terasa waktu telah berlalu. Aku sudah sampai di
depan rumah sakit tempatku bekerja. Butuh beberapa menit untukku untuk
meletakkan mobil. Aku pun keluar dari mobil. Melangkah dengan penuh
kebahagiaan. Aku tidak bisa lagi menyembunyikan perasaan senangku ini.
“Selamat ya!,” terdengar suara dari arah belakang sambil
menepuk pundakku.
“Eh kak,” balasku agak kaget.
Dia adalah kak Reisya, kakak kelasku di bangku kuliah, ia
berbeda empat semester denganku. Dia adalah seorang anak perempuan dari pemilik
rumah sakit tempatku bekerja.
“Gimana ? Sudah kerja?”
“Ini hari pertamaku. Aku ingin membereskan ruanganku
dulu. Kebetulan aku baru membawa barang-barangku”
“Ok!”
“Oh iya, ruanganmu ada disebelah ruanganku, ingin ku antar?”
“Boleh”
Akupun berjalanmenyusuri ruangan rumah sakit. Begitu
megah dan indah. Tidak tampak seperti rumah sakit yang suram. Sepanjang
perjalanan menuju ruangan, aku melihat berbagai macam paduan dekorasi yang
mengagumkan. Lebih hebatnya lagi, ternyata di dalam rumah sakit ini terdapat
taman yang luas dan dipenuhi tanaman-tanaman yang indah menyejukkan pikiran.
Aku terpaku kagum dengan semua ini.
“Nah sudah sampai!”
“Ini ruanganmu. Jika ada kesulitan atau masalah, kamu
bisa datang ke ruanganku disebelah sana,” ucapnya sambil menunjukkan sebuah
ruangan yang berada tepat disamping kanan ruanganku. Aku menundukkan kepala
sebagai tanda terima kasihku dan juga tanda hormatku. Lalu aku pergi memasuki
ruangan dan mulai merapikan barang-barang.
Waktu berlalu begitu cepat. Jam sudah menunjukkan pukul
lima sore. Hari yang cukup melelahkan. Akan tetapi aku bersyukur, hari ini aku
sudah mendapatkan tiga pasien yang menurutku ini adalah pertanda baik dalam
karirku di hari pertama. Akupun merapikan barangku karena jadwalku telah habis.
Aku beranjak dari kursi dan meninggalkan ruangan. Tiba-tiba langkahku terhenti,
dari balik dinding kaca itu terlihat awan mendung. Rupanya cuaca telah berubah.
Akan tetapi aku melanjutkan kembali langkahku. Akupun menaiki mobil dan pergi
menuju rumah.
Ditengah perjalanan, tiba-tiba mobilku mogok. Tepat
sekali berhenti dibawah pohon besar. Angin begitu kencang menerjang pertanda
hujan disertai badai akan dating. Tiba-tiba tatapanku terpaku oleh seorang anak
perempuan kecil yang kira-kira berumur sepuluh tahun. Bajunya sangat kusam
seperti telah termakan oleh waktu yang cukup lama. Rambutnya pajang terurai
sampai sebahu. Ia terlihat lusuh. Tatapannya kosong menatap lurus ke arah
sebuah rumah tua. Akupun makin penasaran dengan anak itu dan mengamatinya dari
balik kaca mobil. Mengapa anak itu diam saja? Ada apa dengan rumah itu? Tanyaku
dalam hati.
Beberapa menit kemudian hujan turun dengan derasnya. Dan
aku baru teringat akan mobilku yang mogok. Cepat-cepatku raih ponselku dan
menelpon jasa pengangkut mobil.
“Halo, apa ini jasa pengangkut mobil?”
“Iya, ada jasa yang perlu dibantu?”
“Ada, mobil saya mogok di Jalan Ahmad Mada..”
Tiba-tiba aku terkaget. Mataku kea rah anak itu. Sekarang
anak itu memasuki rumah tua itu.
“Halo mbak?”
“Ah iya, Jalan
Ahmad Madani di Bogor”
Ucapku cepat-cepat dan meninggalkan ponselku di mobil dan
aku pergi mengikuti anak itu diam-diam. Mengabaikan hujan deras yang menerpa
tubuhku. Sekali lagi aku terpaku. Bukan terpaku mungkin, lebih tepatnya aku
merinding ketakutan.
Rumah ini begitu tua. Dindingnyapun sudah retak dan
pagarnya sudah rapuh dimakan usia. Aku mencoba menoleh ke arah dalam. Ku lihat
anak itu berjalan perlahan menuju sebuah pohon besar yang terdapat semak
belukar disekelilingnya. Ia menoleh kea rah jendela rumah menatap kosong sambil
tersenyum kecil. Otomatis itu semua membuat bulu kudukku berdiri.
Perlahan ia seperti mengkur jarak dari jendela itu. Lalu
ia membungkuk dan duduk diatas kumpulan tanah yang telah basah karena hujan.
Tangan kosongnya mengais-ngais tanah. Entah apa yang akan ia perbuat.
Tanah-tanah itupun masuk ke dalam sela-sela kukunya. Ia mengabaikannya. Ia
tetap menggali tanah itu dengan tangannya. Sesekali aku menoleh ke arah mobilku
menunggu mobil derek itu dating.
Akan tetapi saat ini belum dating juga. Akupun menoleh ke
anak itu lagi. Begitu aku kaget saat melihat matanya tiba-tiba merah dan
mengeluarkan air mata sambil mengais denga cepat seperti singa yang menyerang
mangsanya. Ingin rasanya aku kembali ke mobilku dan menunggu mobil derek
datang. Akan tetapi rasa penasaranku membuatku tetap mengamati anak itu.
Beberapa saat terlihat sebuah plastic hitam dari tanah
yang digali anak itu. Dia tertawa kecil. Kemudian ia mengambil plastic itu
dengan tangan yang telah dilumuri tanah. Lalu ia mulai berjalan keluar rumah
tua itu. Berjalan ke arahku.
Imajinasi dalam pikiranku mulai menjadi-jadi, aku
membayangkan anak itu adalah setan dari pemilik rumah tua itu. Dan dia akan
membunuhku karena aku telah mengikutinya dari tadi. Aku langsung berlari menuju
mobil dengan tampang ketakutan.
Saat aku sampai di mobil, dari jauh samar-samar terlihat
mobil derek yang aku pesan datang.
“Huft”
Ucapku menghela nafas.
“Mba, mobilnya akan di derek”
“Eh tunggu sebentar ya”
Tanpa ku sadari, aku mengucapkan kalimat itu.
Akupun berlari kea rah rumah tua itu lagi, memenuhi rasa
penasaranku karena anak itu seharusnya sudah keluar dari rumah. Saat aku
berlari, langkahku reflek berhenti. Aku terdiam kaku. Dari jauh si pengangkut
mobil melambaikan tangannya padaku menandakan aku untuk mempercepat masalahku
ini. Aku mengabaikannya. Aku begitu fokus pada anak perempuan itu.
Kini aku melihat ia terbujur kaku di dekat pagar. Mukanya
pucat. Tanpa pikir panjang aku langsung menggendong anak ini dan berlari ke arah
mobilku, menghampiri si pengangkut mobil.
“Pak, bisa kita ke rumah sakit dulu?”
“Entar bapak bisa bawa ke bengkel. Tenang aja, saya akan
bayar lebih”
“Eh.. baik mbak”
Si penggangkut mobil mengiyakan.
Segera aku membuka mobil dan menaruh anak perempuan ini
di bangku belakang.
Kejadian pada sore yang berhujan itu tidak dapat ku
lupakan.
Hari demi haripun berlalu, akan tetapi hujan selalu
mengiringi hari-hariku dengan anak perempuan yang sedang tertidur koma.
Perlahan terlihat pergerakan pada jemari anak ini. Aku tersenyum lega.
Tiga haripun telah berlalu. Kini si anak perempuan sudah
terbangun dari komanya . Ia telah bisa menatap dunia lagi.
>>>bersambung<<<
>>>bersambung<<<
Tidak ada komentar:
Posting Komentar