Laman

Senin, 07 November 2011

Rainy Days


            Hari ini begitu cerah. Matahari bersinar dengan menawannya. Burung-burung pun berkicau secara beriringan membuat tangga nada yang merdu seperti sudah terlatih dalam kontes orchestra internasional. Jalur lalu lintaspun terlihat bersahabat. Tidak ada kemacetan, mobil-mobil berlalu lalang dengan lancarnya. Begitu pula perasaanku sekarang. Yap, aku sangat senang. Hari ini aku akan pergi untuk pertama kalinya sebagai seorang psikolog dalam sebuah rumah sakit internasional. Ini adalah pekerjaan pertamaku dan ini adalah cita-citaku sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Ini merupakan sebuah prestasi yang sangat berharga bagiku yang masih berusia delapan belas tahun untuk bias menjadi psikolog setelah diwisuda tiga bulan yang lalu. Aku tersenyum bahagia.
            Tidak terasa waktu telah berlalu. Aku sudah sampai di depan rumah sakit tempatku bekerja. Butuh beberapa menit untukku untuk meletakkan mobil. Aku pun keluar dari mobil. Melangkah dengan penuh kebahagiaan. Aku tidak bisa lagi menyembunyikan perasaan senangku ini.
            “Selamat ya!,” terdengar suara dari arah belakang sambil menepuk pundakku.
            “Eh kak,” balasku agak kaget.
            Dia adalah kak Reisya, kakak kelasku di bangku kuliah, ia berbeda empat semester denganku. Dia adalah seorang anak perempuan dari pemilik rumah sakit tempatku bekerja.
            “Gimana ? Sudah kerja?”
            “Ini hari pertamaku. Aku ingin membereskan ruanganku dulu. Kebetulan aku baru membawa barang-barangku”
            “Ok!”
            “Oh iya, ruanganmu ada disebelah ruanganku, ingin ku antar?”
            “Boleh”
            Akupun berjalanmenyusuri ruangan rumah sakit. Begitu megah dan indah. Tidak tampak seperti rumah sakit yang suram. Sepanjang perjalanan menuju ruangan, aku melihat berbagai macam paduan dekorasi yang mengagumkan. Lebih hebatnya lagi, ternyata di dalam rumah sakit ini terdapat taman yang luas dan dipenuhi tanaman-tanaman yang indah menyejukkan pikiran. Aku terpaku kagum dengan semua ini.
            “Nah sudah sampai!”
            “Ini ruanganmu. Jika ada kesulitan atau masalah, kamu bisa datang ke ruanganku disebelah sana,” ucapnya sambil menunjukkan sebuah ruangan yang berada tepat disamping kanan ruanganku. Aku menundukkan kepala sebagai tanda terima kasihku dan juga tanda hormatku. Lalu aku pergi memasuki ruangan dan mulai merapikan barang-barang.
            Waktu berlalu begitu cepat. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Hari yang cukup melelahkan. Akan tetapi aku bersyukur, hari ini aku sudah mendapatkan tiga pasien yang menurutku ini adalah pertanda baik dalam karirku di hari pertama. Akupun merapikan barangku karena jadwalku telah habis. Aku beranjak dari kursi dan meninggalkan ruangan. Tiba-tiba langkahku terhenti, dari balik dinding kaca itu terlihat awan mendung. Rupanya cuaca telah berubah. Akan tetapi aku melanjutkan kembali langkahku. Akupun menaiki mobil dan pergi menuju rumah.

            Ditengah perjalanan, tiba-tiba mobilku mogok. Tepat sekali berhenti dibawah pohon besar. Angin begitu kencang menerjang pertanda hujan disertai badai akan dating. Tiba-tiba tatapanku terpaku oleh seorang anak perempuan kecil yang kira-kira berumur sepuluh tahun. Bajunya sangat kusam seperti telah termakan oleh waktu yang cukup lama. Rambutnya pajang terurai sampai sebahu. Ia terlihat lusuh. Tatapannya kosong menatap lurus ke arah sebuah rumah tua. Akupun makin penasaran dengan anak itu dan mengamatinya dari balik kaca mobil. Mengapa anak itu diam saja? Ada apa dengan rumah itu? Tanyaku dalam hati.
            Beberapa menit kemudian hujan turun dengan derasnya. Dan aku baru teringat akan mobilku yang mogok. Cepat-cepatku raih ponselku dan menelpon jasa pengangkut mobil.
            “Halo, apa ini jasa pengangkut mobil?”
            “Iya, ada jasa yang perlu dibantu?”
            “Ada, mobil saya mogok di Jalan Ahmad Mada..”
            Tiba-tiba aku terkaget. Mataku kea rah anak itu. Sekarang anak itu memasuki rumah tua itu.
“Halo mbak?”
“Ah iya, Jalan Ahmad Madani di Bogor”
            Ucapku cepat-cepat dan meninggalkan ponselku di mobil dan aku pergi mengikuti anak itu diam-diam. Mengabaikan hujan deras yang menerpa tubuhku. Sekali lagi aku terpaku. Bukan terpaku mungkin, lebih tepatnya aku merinding ketakutan.
            Rumah ini begitu tua. Dindingnyapun sudah retak dan pagarnya sudah rapuh dimakan usia. Aku mencoba menoleh ke arah dalam. Ku lihat anak itu berjalan perlahan menuju sebuah pohon besar yang terdapat semak belukar disekelilingnya. Ia menoleh kea rah jendela rumah menatap kosong sambil tersenyum kecil. Otomatis itu semua membuat bulu kudukku berdiri.
            Perlahan ia seperti mengkur jarak dari jendela itu. Lalu ia membungkuk dan duduk diatas kumpulan tanah yang telah basah karena hujan. Tangan kosongnya mengais-ngais tanah. Entah apa yang akan ia perbuat. Tanah-tanah itupun masuk ke dalam sela-sela kukunya. Ia mengabaikannya. Ia tetap menggali tanah itu dengan tangannya. Sesekali aku menoleh ke arah mobilku menunggu mobil derek itu dating.
            Akan tetapi saat ini belum dating juga. Akupun menoleh ke anak itu lagi. Begitu aku kaget saat melihat matanya tiba-tiba merah dan mengeluarkan air mata sambil mengais denga cepat seperti singa yang menyerang mangsanya. Ingin rasanya aku kembali ke mobilku dan menunggu mobil derek datang. Akan tetapi rasa penasaranku membuatku tetap mengamati anak itu.
            Beberapa saat terlihat sebuah plastic hitam dari tanah yang digali anak itu. Dia tertawa kecil. Kemudian ia mengambil plastic itu dengan tangan yang telah dilumuri tanah. Lalu ia mulai berjalan keluar rumah tua itu. Berjalan ke arahku.
            Imajinasi dalam pikiranku mulai menjadi-jadi, aku membayangkan anak itu adalah setan dari pemilik rumah tua itu. Dan dia akan membunuhku karena aku telah mengikutinya dari tadi. Aku langsung berlari menuju mobil dengan tampang ketakutan.
            Saat aku sampai di mobil, dari jauh samar-samar terlihat mobil derek yang aku pesan datang.
            “Huft”
            Ucapku menghela nafas.
            “Mba, mobilnya akan di derek”
            “Eh tunggu sebentar ya”
            Tanpa ku sadari, aku mengucapkan kalimat itu.
            Akupun berlari kea rah rumah tua itu lagi, memenuhi rasa penasaranku karena anak itu seharusnya sudah keluar dari rumah. Saat aku berlari, langkahku reflek berhenti. Aku terdiam kaku. Dari jauh si pengangkut mobil melambaikan tangannya padaku menandakan aku untuk mempercepat masalahku ini. Aku mengabaikannya. Aku begitu fokus pada anak perempuan itu.
            Kini aku melihat ia terbujur kaku di dekat pagar. Mukanya pucat. Tanpa pikir panjang aku langsung menggendong anak ini dan berlari ke arah mobilku, menghampiri si pengangkut mobil.
            “Pak, bisa kita ke rumah sakit dulu?”
            “Entar bapak bisa bawa ke bengkel. Tenang aja, saya akan bayar lebih”
            “Eh.. baik mbak”
            Si penggangkut mobil mengiyakan.
            Segera aku membuka mobil dan menaruh anak perempuan ini di bangku belakang.        
            Kejadian pada sore yang berhujan itu tidak dapat ku lupakan.
            Hari demi haripun berlalu, akan tetapi hujan selalu mengiringi hari-hariku dengan anak perempuan yang sedang tertidur koma. Perlahan terlihat pergerakan pada jemari anak ini. Aku tersenyum lega.
            Tiga haripun telah berlalu. Kini si anak perempuan sudah terbangun dari komanya . Ia telah bisa menatap dunia lagi.
>>>bersambung<<<

Tidak ada komentar:

Posting Komentar